Pertanyaan:
Apakah
seluruh sabda dan ucapan Nabi Saw merupakan wahyu atau tidak? Dengan kata lain,
apakah seluruh ucapan yang terlontar dari lisan Nabi Saw dan kemudian segala
perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Saw merupakan ajaran dan pelajaran Ilahi
yang disampaikan kepadanya melalui wahyu, atau terdapat ucapan dan sabda Nabi
Saw yang bukan wahyu atau ucapan dan sabda yang berkaitan dengan agama dan
hukum-hukum harus dipisahkan dengan ucapan yang bertalian dengan obrolan
keseharian?
Jawaban:
Terdapat
ragam pendapat para pemikir otoritatif terkait masalah ini. Sebagian
berpandangan, dengan memperhatikan kemutlakan ayat 3 dan 4 surah al-Najm,[i] bahwa seluruh ucapan, perbuatan dan
perilaku Nabi Saw adalah wahyu. Sebagian lainnya berkeyakinan bahwa ayat 4
surah al-Najm terkait dengan al-Qur’an dan ayat-ayat yang diwahyukan
kepada Nabi Saw. Meski Sunnah Nabi Saw merupakan hujjah, ucapan,
tindakan dan diamnya tidak bersumber dari hawa nafsu.Nampaknya
yang dapat dikatakan dalam masalah ini secara definitif adalah bahwa tidak satu
pun perbuatan dan sirah Nabi Saw yang dilakukan tanpa izin wahyu, sebagaimana
ucapan beliau demikan juga adanya. Dan obrolan keseharian dan adat kehidupan
Nabi Saw tidak berasal dari hawa nafsu, pada hakikatnya mustahil terjadi
perbuatan dosa pada pribadi Rasulullah Saw dalam hal ini.
[i]. “Dan dia tidak berbicara menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (Qs. Al-Najm [53]:3-4)
Jawaban
Detail
Tanpa syak,
para nabi Allah memiliki hubungan khusus dengan Allah Swt dan mereka menerima
pelbagai hukum, aturan, ajaran Ilahi melalui hubungan ini yang kemudian
disampaikan kepada masyarakat.
Realitas dan
kuiditas hubungan ini merupakan perkara yang sangat pelik dan manusia tidak
mampu memahami dan mencerap hubungan dengan baik. Namun hal itu tidak bermakna
kejahilan mutlak manusia terhadap permasalahan ini. Dengan kata lain, masalah
“wahyu” bukan merupakan sebuah permasalahan yang tidak dapat dipahami dan
dikenali hakikatnya oleh manusia sehingga harus ditinggalkan dan dibiarkan
begitu saja. Namun ia dapat dipahami sesuai dengan kadar dan keluasan akal,
pemahaman, pencerapan, manusia yang dapat menggali wahyu dan firman Ilahi ini.
Wahyu secara
leksikal
Wahyu
merupakan prinsip dan kaidah yang berguna untuk menyampaikan “ilmu” dan
sebagainya. Tipologi wahyu adalah sebuah isyarat cepat yang bertautan dengan
tulisan dan risalah, terkadang merupakan deklarasi terhadap rumusan dan
formula, terkadang dalam bentuk tunggal dan terlepas dari susunan, isyarah
terhadap sebagian anggota badan, terkadang bermakna ilham dan ucapan
tersembunyi. Karena itu, tersembunyi, cepat dan misterius tergolong sebagai
rukun-rukun asli wahyu.[1]
Hakikat
wahyu
Wahyu pada
umumnya sepadan dengan ilmu, pemahaman dan pencerapan. Tidak setimpal dengan
perbuatan dan pergerakan, kendati manusia tatkala melakukan perbuatan mencari
bantuan dari percikan pemikiran dan pandangan. Ilmu dan pemahaman merupakan
bentuk tipikal eksistensi yang jauh dan bebas dari kuiditas.
Dengan kata
lain, wahyu merupakan pahaman yang disaripatikan dari “keberadaan.” Dengan
demikian, wahyu tidak memiliki kuiditas dan tidak dapat dimaknakan melalui
genus, differentia, definisi, gambaran (rasm). Karena itu, wahyu jauh
dan terbebas dari sepuluh kategori kuiditas yang umum dikenal orang. Pahaman
wahyu – seperti makna keberadaan – memiliki instanta luaran (mishdaq) dimana
contoh luaran ini memiliki tingkatan yang beragam dan berbeda.[2]
Karena itu,
pelbagai definisi yang dibeberkan bagi wahyu merupakan definisi syarh al-ism
(alih-bahasa semata) bukan definisi hakiki. Di samping itu, wahyu bukan
merupakan hubungan biasa sehingga dapat dicerap dan dipahami dengan mudah oleh
siapa saja.
Definisi
wahyu
Allamah
Thabathabai dalam mendefinisikan wahyu berkata, “wahyu merupakan pencerapan dan
pemahaman khusus dalam batin para nabi dimana hal ini tidak mungkin diperoleh
oleh siapa saja kecuali mereka yang mendapatkan inâyah (perhatian
khusus) Allah Swt.[3]
Allamah
Thabathabai pada kesempatan lain menulis, “Wahyu adalah perkara ekstraordinari
(luarbiasa) yang berasal dari pencerapan-pencerapan batin dan pemahaman
simbolik yang tertutup dari indera-indera lahir.”[4]
Dalam
menjawab pertanyaan yang mengemuka maka harus dikatakan bahwa:
Para pemikir
dan ulama Islam melontarkan pelbagai pandangan beragam dan berbeda dengan
memanfaatkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat:
Abdurrazzaq
Lahiji terkait masalah ini berkata, “Apabila ada orang yang menduga bahwa Nabi
Saw pada sebuah perkara beramal berdasarkan pikiranya sendiri dan tidak
menantikan wahyu maka dari sudut mana pun orang ini tidak tahu dan jahil
terhadap tujuan kenabian dan hakikat nabi. Dan orang sedemikian di hadapan
orang-orang berakal telah keluar dari wilayah agama, khususnya karena hal ini
bertentangan dengan nash al-Qur’an “wama yanthiqu anilhawa, in huwa wahyu
yuha” dan menspesifikasi (takhsis) masalah ini terhadap sebagian
masalah lainnya sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima. Seluruh
urusan yang bertalian dengan agama memerlukan izin Ilahi dan wahyu Rabbani, nah
tatkala Nabi tidak berbuat berdasarkan pendapatnya sendiri maka bagaimana
mungkin orang lain dapat berbuat sebaliknya.” [5]
Dalam tafsir
Nemune[6] ditulis demikian bahwa firman Allah Swt dalam
al-Qur’an “in wahyu yuha” tidak hanya berkaitan dengan ayat-ayat
al-Qur’an, melainkan dengan indikasi ayat-ayat sebelumnya Sunnah Nabi Saw juga
termasuk sebagai bagian dari “yang diwahyukan” ini. Dimana bukan hanya
ucapan Nabi Saw namun perbuatan serta perilaku Nabi Saw adalah sesuai dengan
wahyu Ilahi. Lantaran pada ayat 3 dan 4 surah al-Najm secara tegas
dijelaskan bahwa “Dia tidak berkata-kata mengikuti hawa nafsunya, segala
yang ia ucapakan adalah wahyu.”
Allamah
Thabathabai dalam penafsiran ayat “Wamâ yanthiq ‘anil hawa” berkata, “maa
yanthiqu” bercorak mutlak, dan tuntutan kemutlakan ini adalah bahwa hawa
nafsu telah dinafikan dari seluruh ucapan Nabi Saw. Namun terkait dengan
ayat-ayat yang menyebutkan “Shâhibukum”[7] ini adalah dialamatkan untuk kaum musyirikin[8] karena indikasi kedudukan yang terdapat pada
ayat ini harus dikatakan bahwa apa yang diserukan kepadanya untuk kaum
musyrikin dan apa yang dibacakan dari ayat-ayat al-Qur’an, ucapan-ucapannya tidak
bersumber dari hawa nafsu, melainkan apa pun yang dikatakannya adalah wahyu
yang diturunkan Allah Swt kepadanya.”[9]
Artinya ayat
ini menetapkan bahwa seluruh hal-hal religius[10] yang dikatakannya dalam masalah-masalah
bimbingan, pandangan dunia dan petunjuk bukan hal-hal partikular duniawi adalah
wahyu.[11] Namun kemungkinan seperti ini tertolak
dimana ucapan-ucapan biasa, perintah dan larangan Nabi Saw terkait urusan
pribadi, keluarga misalnya Nabi Saw bertutur kata kepada istrinya, berikan
wadah itu kepadaku, dan sebagainya berasal dari hawa nafsu.[12] Nabi Saw dalam ucapan-ucapan semacam ini
maksum dan tidak melakukan kekeliruan dan kesalahan.[13] Karena itu ucapan dan perbuatan[14] Nabi Saw dalam kondisi-kondisi semacam ini,
boleh dan tidak bertentangan dengan keridhaan Ilahi. Karena apabila
perbuatan-perbuatan ini bermasalah maka hal tersebut tentu tidak akan dilakukan
oleh Nabi Saw.[]
Untuk telaah
lebih jauh silahkan Anda merujuk pada:
Silsilah
Darshâ-ye Khârij Ilm Ushul, kitâb-e awwal, daftar-e Panjum, Mabâdi-ye Shudur-e
Sunnat, Martaba wa Dâman-ye Ishmat, hal. 34-67, Ustad Mahdi Hadawi Tehrani.
[1]. Raghib Isfahani, al-Mufradat Alfaz
al-Qur’an, klausul wahy.
[2]. Untuk referensi lebih jauh, silahkan Anda
lihat: Wahy wa Nubuwat dar Qur’an, Jawadi Amuli. Mabani Kalami
Ijtihad dar Bardasyt az Qur’an Karim, Hadawi Tehrani, hal. 77.
[3]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan
(terjemahan Persia), jil. 2, hal. 159.
[4]. Ibid, hal. 160. Untuk referensi lebih jeluk
silahkan Anda lihat, Hadawi Tehrani, Mabani Kalam-e Ijtihad, hal. 76-78.
Abdulhussein Khusrupanah, Qalamruye Din, hal. 117-130. Dan indeks: Wahyu
dan bagaimana ia diturunkan, pertanyaan 88.
[5]. Abdurrazzaq Lahiji, Gauhar Murâd,
hal. 461.
[6]. Tafsir Nemune, jil. 22, hal.
481.
[7]. Qs. Al-Najm [53]:2
[8]. Kaum Musyrikin beranggapan bahwa seruan Nabi
Saw yang dibacakan untuk mereka adalah dusta dan khurafat.
[9]. Thabathabai, al-Mizan (terjemahan
Persia), jil. 19, hal. 42. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Mehr Taban,
hal. 212-213.
[10]. Satu unsur religius adalah unsur yang
memiliki peran dalam kebahagiaan hakiki manusia
[11] . Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’an,
Sireh-ye Rasul Akram dar Qur’an, jil. 8, hal. 32.
[12]. Harus diperhatikan bahwa ucapan kita lebih
tinggi dari ucapan ini dimana sebagian orang berkata tanpa ragu bahwa keberadaan
Nabi Saw di samping tipologi risalah dan wahyu yang diturunkannya kepadanya,
beliau berasal dari golongan terkemuka dan berpengalaman pada masanya. Karena
itu, beliau memiliki dua jenis ucapan dan sabda: Pertama, ucapan dan sabda yang
merupakan wahyu seperti ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Qudsi. Kedua,
ucapan-ucapan yang sarat hikmah dan rasional yang memancar dari pribadi unggul
Nabi Saw.
[13]. Kendati religiusitas dan keniscayaan di
antara keduanya tidak dapat ditetapkan. Artinya disebutkan sebagai maksum dan
sekali-kali tidak pernah melakukan kelalaian, kesalahan, lupa dan maksiat, baik
dalam perbuatan atau pun ucapan terkait dengan urusan agama atau apa yang
dikatakan dan dikerjakan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Karena itu,
apabila seorang maksum menjelaskan sebuah hakikat yang tidak memiliki unsur
agama – misalnya menyampaikan sebuah masalah ilmiah – tentu saja ucapannya
sesuai dengan realitas. Sebagaimana apabila seorang maksum menjelaskan masalah
syariat dan agama, maka sekali-kali tidak terdapat kesalahan di dalamnya. Ta’ammulât
dar Ilm-e Ushul Fiqh, kitâb Awwal, daftar-e Panjum, Mabâdi-ye Shudur-e Sunnat,
Martabe-ye Dâmaneye Ishmat, hal. 35.
[14]. Dari ayat “wama yanthiqu ‘anil hawa”
ditegaskan bahwa perbuatan dan sirah Nabi Saw di samping ucapan beliau adalah
senantiasa sesuai dengan wahyu. Dan apabila dianggap makna yang meliputi ini
tidak dapat kita jadikan media inferensi (istinbath) maka ayat
lain seperti ayat 50 surah al-An’am dan ayat-ayat lainnya, dapat diperoleh
makna yang sama. Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui al-Qur’ân, Sireh-ye Rasul
Akrâm Saw dar Qur’ân, jil. 8, hal. 33.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Peringatan..!!
1.Budayakan saat berkomentar dengan kata-kata yang baik dan sopan
2.Dilarang mempromosikan blog di komentar
3.Dan katakan jika itu perlu untuk menmbah masukan kepada admin blog untuk lebih baik kedepannya..
Syukron katsiron