Allah Subhaanahu wata’aala berfirman :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
Rukun Jual Beli ada tiga :
- Adanya penjual dan pembeli
- Adanya barang yang dijual/yang ditransaksikan
- Ijab (ucapan dari penjual saya jual) dan Qabul (ucapan dari pembeli saya beli) ini bentuknya sighat jual beli dengan ucapan. Adapun sighat dengan perbuatan yaitu seorang pembeli memberi uang dari barang yang ia ingin beli dan seorang penjual memberikan barang kepada pembeli tanpa ada ucapan.
Syarat-syarat Jual Beli :
- Adanya keridhaan antara penjual dan pembeli
- Orang yang mengadakan transaksi jual beli seseorang yang dibolehkan untuk menggunakan harta. Yaitu seorang yang baligh, berakal, merdeka dan rasyiid (cerdik bukan idiot).
- Penjual adalah seorang yang memiliki barang yang akan dijual atau yang menduduki kedudukan kepemilikkan, seperti seorang yang diwakilkan untuk menjual barang.
- Barang yang di jual adalah barang yang mubah (boleh) untuk diambil manfaatnya, seperti menjual makanan dan minuman yang halal dan bukan barang yang haram seperti menjual khamr (minuman yang memabukkan), alat musik, bangkai, anjing, babi dan yang lainnya.
- Barang yang dijual/di jadikan transaksi barang yang bisa untuk diserahkan. Dikarenakan jika barang yang dijual tidak bisa diserahkan kepada pembeli maka tidak sah jual belinya. Seperti menjual barang yang tidak ada. Karena termasuk jual beli gharar (penipuan). Seperti menjual ikan yang ada air, menjual burung yang masih terbang di udara.
- Barang yang dijual sesuatu yang diketahui penjual dan pembeli, dengan melihatnya atau memberi tahu sifat-sifat barang tersebut sehingga membedakan dengan yang lain. Dikarenakan ketidak tahuan barang yang ditransaksikan adalah bentuk dari gharar.
- Harga barangnya diketahui, dengan bilangan nominal tertentu
Seiring
dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan
juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran
barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan
kehadiran antara penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang
disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan
fasilitas dan semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang
tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet sebagaimana
pertanyaan yang saudari sampaikan.
Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail
Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah
bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah,
apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang
diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta
memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya dengan dasar
pengambilan hukum;
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:
وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ
الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ
وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ
وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ
Yang
diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan
jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi
alternatif utama dan dipraktikkan.
2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:
(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا
مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ
أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ
الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا
يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ
فِيمَا يَظْهَرُ
(Dan menurut
qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang
dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni
barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah
satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai
barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah
disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas
-mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah
cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih.
Demikian menurut kajian yang kuat.
Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua), barang
yang diperjual belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh
kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi
penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang
demikian, sebagaimana dalam sebuah hadis dinyatakan:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan.
(HR.Muslim).
Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan.
Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak
penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam
transksi jual beli. Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan
subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Peringatan..!!
1.Budayakan saat berkomentar dengan kata-kata yang baik dan sopan
2.Dilarang mempromosikan blog di komentar
3.Dan katakan jika itu perlu untuk menmbah masukan kepada admin blog untuk lebih baik kedepannya..
Syukron katsiron