Oleh:
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bid’ah yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada
contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ
“Allah pencipta langit dan
bumi” [Al-Baqarah/2 : 117]
Artinya adalah Allah yang
mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ
الرُّسُلِ
“Katakanlah : ‘Aku bukanlah
rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf/46 : 9].
Maksudnya adalah : Aku
bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala
kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah
mendahuluiku.Dan dikatakan juga : “Fulan
mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada
sebelumnya.Dan perbuatan bid’ah itu ada
dua bagian :
1. Perbuatan bid’ah dalam
adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang
IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai
macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat
istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
2. Perbuatan bid’ah di dalam
Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi
(tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di
dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di
tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya :
Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka
perbuatannya di tolak”.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
1. Bid’ah qauliyah
‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan
orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah
(kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah
dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak
disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian
yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan
dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada
dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak
disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar
yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain
sebagainya.
b. Bid’ah yang bentuknya
menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat
kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
c. Bid’ah yang terdapat pada
sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak
disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara
berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri)
dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam
d. Bid’ah yang bentuknya
menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh
syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal
15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan
qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan
waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Janganlah kamu sekalian
mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang
baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud,
dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengadakan hal
yang baru yang bukan dari kami
maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain
disebutkan :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa beramal suatu
amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.
Maka hadits tersebut
menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah,
dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam
ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut
tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir
(kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada
ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan
itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan
seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan
orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga
bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di
atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq
secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam
perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga
bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang
keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma
dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah
(jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan
orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi
ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab
mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang
mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut
dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya :
“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka
perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian
menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai
rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada
masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun
batin.
Dan mereka itu tidak
mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik,
kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada
hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti
mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan
penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap
mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam
syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan
bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai
rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti
bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada
dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an
dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih
terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu
mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah
bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka
(sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat
terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai
sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu
imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan
merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan
hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian
sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada
penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum
adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ;
sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga
agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada
mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah
perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala
& Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang
Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan
Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Peringatan..!!
1.Budayakan saat berkomentar dengan kata-kata yang baik dan sopan
2.Dilarang mempromosikan blog di komentar
3.Dan katakan jika itu perlu untuk menmbah masukan kepada admin blog untuk lebih baik kedepannya..
Syukron katsiron